Diposkan pada Puisi

Satu Hari Di Bulan MEI

Pagi itu kutemukan
Pagi itu kurasakan
Saat itu juga tersadarkan
Kapan termulainya
Pagi itu lebih cerah
Lebih cerah dari biasanya
Lebih memandangnya
Lebih memperhatikannya

Siang itu merasakan
Siang itu terasa nyaman
Senyaman saat aku didekatnya
Senyaman saat aku berbincang dengannya

Secangkir kopi hitam
Tak sepahit kopi biasanya
Terasa manis di awal dan akhir
Kenyaman kala itu tak terduga
Bunga pun sepakat enggan layu kala itu
Seakan terlarut dalam suasana
Hingga burung burung menciumi senja
Senja memberi izin yang kala itu
Meluangkan waktu yang lebih lama

Muncullah sang rembulan
Membisik pada bintang
Menitipkan salam pada seseorang
Mengatakan tetaplah disini sampai waktu hari ini berakhir
Hari ini terlalu indah untuk dilewati begitu saja
Biarkan sang rembulan menikmati waktu membisik bersama bintang
Seperti aku dan kamu menghabiskan waktu
Biarkan hati ini tetap menikmati
Betapa indahnya waktu hari ini
Bila dihabiskan bersama denganmu
Walaupun hanya sekali saja

 

Untuk seseorang
Bersembunyi dibalik bintang
Menantang malam

© Ayu Mayangsari | Ketapang, 20 Agustus 2017

Diposkan pada Penulis

Usai Di Sini

Awalnya aku tak menyadari, sebenarnya kau pun menyukai ku. Berawal dari percakapan yang kuanggap sekedar teman curhat dan merambat menjadi sebuah kalimat cinta yang awalnya ku kira hanya biasa. Teman temanku menyadari perilaku aneh mu itu dan mereka dengan senangnya memberi sebuah harapan yang semestinya aku percaya dari awal. Semua kesalahan memang terletak di awal, aku membenci diriku sendiri. Mulutku penuh bisu ketika terucap kata sayang. Apalah daya jika sekarang menoleh saja kau tak sudi. Aku rindu semua celotehmu yang sudah dengan baik menjatuhkan hatiku.

Kepergianmu yang tiba-tiba adalah kiamat kecil bagiku. Tahukah kau rasanya menjadi seorang perempuan yang setiap hari menatap ponselnya hanya untuk menunggu chat-mu? Tahukah kau rasanya jadi seseorang yang diam-diam memperhatikan seluruh sosial mediamu hanya untuk mengobati perih dan sakitnya rindu? Tahukah kau betapa menderitanya jadi seorang gadis yang hanya bisa berprasangka, hanya bisa mengira, hanya bisa menerka bagaimana perasaanmu padaku selama ini? Tahukah kau begitu tersiksanya hidup menjadi orang yang selalu bertanya-tanya, ke sana ke mari, mencarimu ke mana-mana, sementara kau melenggang seenaknya seakan tidak terjadi apa-apa di antara kita? Tahukah kau perihnya menahan diri untuk tidak menghubungimu lebih dahulu karena aku begitu tahu diri bahwa kita tidak pernah ada dalam status dan kejelasan? Tahukah kau lelahnya menjadi orang yang terus berharap, terus berkata dalam hati, begitu percaya bahwa suatu hari kau akan kembali?

“Dia pasti chat aku, kok. Satu hari lagi. Dua hari lagi. Satu minggu lagi. Dua minggu lagi. Tiga minggu lagi. Satu bulan.” Dan, aku masih menghitung hari, menunggu kau pulang, menunggu ingatanmu kembali padaku. Tahukah kau betapa tersiksanya aku ketika kau tidak memberi kabarmu, ketika kau tidak menyapaku, ketika tak ada lagi percakapan di antara kita, dan ketika kau tiba-tiba menghempaskanku ke dasar daratan, ketika kita sedang asik-asiknya terbang bersama? Katakan padaku, bahwa aku terlalu berlebihan, aku terlalu berdrama, aku terlalu membawa perasaan. Aku tidak peduli apa kata orang, mereka tidak pernah paham betapa dalamnya perasaanku, seperti kau yang tidak pernah mengerti betapa aku mencintaimu.

Apa kau tau betapa menyakitkan ketika kau menganggapku menjadi seorang yang tak pernah ada dihidupmu? Mungkin kau hanya menyalahakanku sebagai orang jahat disini. Apakah kau pernah berfikir jika banyak pencintamu diluar sana yang lebih baik dariku? Tapi aku merasa “lebih baik” ketika kudengar, kau menemukan salah satu pencintamu yang jauh lebih baik dariku. Meskipun setelahnya aku dianggap asing. Aku baru sadar, kau dulu sempat berjuang menjatuhkan hati yang penuh keangkuhan ini. Aku tak bermaksud untuk membuatmu bingung, tapi aku hanya tak tau harus bagaimana menanggapi sikapmu padaku.

 

Untukmu Rasa Terindah
Yang pernah ada

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Diposkan pada Penulis

Seorang Tamu, Siapa, Entah..

Mulanya aku sulit untuk menerima, sebab batin terlanjur luntur rasa percayanya pada cinta. Aku takut untuk mulai membuka hati, namun lebih takut lagi jika kelak tak terobati lagi luka ini.

Lalu kamu datang. Seperti kunang-kunang benderang ketika gelap malam menjelang. Kamu begitu penuh tanya saat percakapan berubah jadi nyata. Seperti memanggil cinta itu dari tiada menjadi ada. Sungguh hangat terasa, ketika adamu melipur lara. Semoga ini bukan untuk sementara, yang aku ingin ini tak ada habisnya.

Pada awalnya aku takut jatuh dan sama sekali tidak menemukan tangan untuk kurengkuh. Aku takut menggantungkan perasaan, namun malah berakhir dengan bertepuk sebelah tangan. Aku takut menitipkan hati lalu kemudian justru tersakiti.

Entah turun dari siapa rasa paling teristimewa sedunia. Tiba-tiba begitu saja menyelinap dalam kata “kita”. Sejak detik pertama segalanya bermula, aku tak pernah berpikir rasa ini akan berakhir. Entah siapa yang memulai pertama. Entah aku. Entah kamu. Yang kutahu, tiba-tiba debar sudah menyebar. Hatiku jatuh padamu tanpa sadar. Katamu, hati itu nampak kosong untuk sekian lama. Katamu, otak hampir saja lupa tentang bagaimana wujud cinta. Jauh, di lubuk hati yang hanya bisa membisu, aku ingin namaku untuk bisa terukir di sana. Meski aku tahu, jatuh cinta kepadamu memang penuh resiko. Resiko untuk terbang terlalu tinggi dengan sayap rapuh yang kau pinjami, lalu dengan atau tanpa kamu sadari kau jatuhkan lagi aku ke bumi. Ini memang terlalu tinggi, tapi ternyata sakitnya berlipat kali jika kamulah objek utama dibalik semua ini. Tak tahu rupanya dengan sel-sel ekspektasi dalam kepala ini membuat hatiku perlahan-lahan roboh. Pada akhirnya, kita seperti mengakhiri apa yang belum sempat kita awali. Karna aku tau dari awal hatimu memang untuknya. Sedangkan aku, masih tetap di sini. Membiarkan diriku sendiri terbanjiri sepi. Membiarkan hitam mataku kini rindu ditatap hitam matamu. Tentang menatap dengan malu-malu, memulai percakapan dengan suara bergetar, degup jantung yang tak sesantai biasanya, ya, itu yang kurasa ketika kita bersama. Kita sama-sama sedang menunggu waktu yang tepat, namun ia tak juga mendekat. Langkah ini sudah menujumu, sepasang mata ini menatapmu, namun semesta seperti belum berpihak kepadaku.

Bukankah perasaan kita saling berpapasan?

Lalu kapan kebersamaan ini berbuah manis?

Ataukah hanya aku yang terlalu mengenggam tinggi harapan nan menyakitkan ini. Mungkin saja..

Kamu seperti segenggam angin pada telapak tangan. Aku tahu kamu di situ, namun tak juga sanggup kamu kusentuh. . Aku tau sebenarnya ini tidak boleh terjadi kepadaku. Karena kata “Kita” bagiku, adalah sebuah ketidakmungkinan antara aku dan kamu.

Maaf jika telingamu belum sempat mendengar nama siapa yang selalu membuatku tersenyum lebar. Mungkin begini porsi bahagia yang nantinya akan kita nikmati. Maaf jika kamu terlalu menghiasi tiap rona pipi setiap kali harapan kau terbangkan dengan sangat tinggi. Dan, maaf jika aku sulit berpindah ke lain hati. Tapi, mungkin itulah cara semesta membuat hatiku dewasa. Kini, aku akan pergi melarutkan rasa. Semoga hatiku lupa caranya menyesal pernah terjatuh padamu. Semoga hatikupun lupa caranya pulang jika nanti datang saatnya meninggalkanmu. Semoga bibirku mudah mengingat bagaimana caranya tersenyum sebelum kamu yang menjadi alasannya.

Diposkan pada Puisi

Sahabat

Sahabat..
Jika aku kehilangan arah
Tegurlah
Jika aku tak melihatmu kebelakang
Panggilah

Katakanlah dengan jujur
Disaat aku berada dijalan yang salah
Katakanlah dengan lantang
Jika aku menaikkan suaraku

Teman..
Aku tak menuntut
Aku juga tak memaksa
Kita dipertemukan lewat tangan Tuhan
Aku hanya ingin seperti ini
Aku hanya butuh kau disisiku
Tak perlu banyak
Aku hanya perlu kau duduk disampingku
Mendengar keluh kesah
Mendengar celoteh tak karuan

Sahabat..
kau takkan mendengar cerita sedihku saja
Cerita gembiralah yang akan sering kau dengarkan
Sebab keceriaanmu menghiasi hariku

Sahabat..
Tetaplah seperti ini
Tetaplah menjadi mesin ceriaku disetiap waktu
Hingga waktu yang memisahkan

© Ayu Mayangsari | Ketapang, 3 Mei 2016