Mulanya aku sulit untuk menerima, sebab batin terlanjur luntur rasa percayanya pada cinta. Aku takut untuk mulai membuka hati, namun lebih takut lagi jika kelak tak terobati lagi luka ini.
Lalu kamu datang. Seperti kunang-kunang benderang ketika gelap malam menjelang. Kamu begitu penuh tanya saat percakapan berubah jadi nyata. Seperti memanggil cinta itu dari tiada menjadi ada. Sungguh hangat terasa, ketika adamu melipur lara. Semoga ini bukan untuk sementara, yang aku ingin ini tak ada habisnya.
Pada awalnya aku takut jatuh dan sama sekali tidak menemukan tangan untuk kurengkuh. Aku takut menggantungkan perasaan, namun malah berakhir dengan bertepuk sebelah tangan. Aku takut menitipkan hati lalu kemudian justru tersakiti.
Entah turun dari siapa rasa paling teristimewa sedunia. Tiba-tiba begitu saja menyelinap dalam kata “kita”. Sejak detik pertama segalanya bermula, aku tak pernah berpikir rasa ini akan berakhir. Entah siapa yang memulai pertama. Entah aku. Entah kamu. Yang kutahu, tiba-tiba debar sudah menyebar. Hatiku jatuh padamu tanpa sadar. Katamu, hati itu nampak kosong untuk sekian lama. Katamu, otak hampir saja lupa tentang bagaimana wujud cinta. Jauh, di lubuk hati yang hanya bisa membisu, aku ingin namaku untuk bisa terukir di sana. Meski aku tahu, jatuh cinta kepadamu memang penuh resiko. Resiko untuk terbang terlalu tinggi dengan sayap rapuh yang kau pinjami, lalu dengan atau tanpa kamu sadari kau jatuhkan lagi aku ke bumi. Ini memang terlalu tinggi, tapi ternyata sakitnya berlipat kali jika kamulah objek utama dibalik semua ini. Tak tahu rupanya dengan sel-sel ekspektasi dalam kepala ini membuat hatiku perlahan-lahan roboh. Pada akhirnya, kita seperti mengakhiri apa yang belum sempat kita awali. Karna aku tau dari awal hatimu memang untuknya. Sedangkan aku, masih tetap di sini. Membiarkan diriku sendiri terbanjiri sepi. Membiarkan hitam mataku kini rindu ditatap hitam matamu. Tentang menatap dengan malu-malu, memulai percakapan dengan suara bergetar, degup jantung yang tak sesantai biasanya, ya, itu yang kurasa ketika kita bersama. Kita sama-sama sedang menunggu waktu yang tepat, namun ia tak juga mendekat. Langkah ini sudah menujumu, sepasang mata ini menatapmu, namun semesta seperti belum berpihak kepadaku.
Bukankah perasaan kita saling berpapasan?
Lalu kapan kebersamaan ini berbuah manis?
Ataukah hanya aku yang terlalu mengenggam tinggi harapan nan menyakitkan ini. Mungkin saja..
Kamu seperti segenggam angin pada telapak tangan. Aku tahu kamu di situ, namun tak juga sanggup kamu kusentuh. . Aku tau sebenarnya ini tidak boleh terjadi kepadaku. Karena kata “Kita” bagiku, adalah sebuah ketidakmungkinan antara aku dan kamu.
Maaf jika telingamu belum sempat mendengar nama siapa yang selalu membuatku tersenyum lebar. Mungkin begini porsi bahagia yang nantinya akan kita nikmati. Maaf jika kamu terlalu menghiasi tiap rona pipi setiap kali harapan kau terbangkan dengan sangat tinggi. Dan, maaf jika aku sulit berpindah ke lain hati. Tapi, mungkin itulah cara semesta membuat hatiku dewasa. Kini, aku akan pergi melarutkan rasa. Semoga hatiku lupa caranya menyesal pernah terjatuh padamu. Semoga hatikupun lupa caranya pulang jika nanti datang saatnya meninggalkanmu. Semoga bibirku mudah mengingat bagaimana caranya tersenyum sebelum kamu yang menjadi alasannya.